Wisata edukasi kudus

Gundana

Elshinta.com - Desa Pedawang, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah menjadi salah satu desa wisata. Di desa ini terdapat wisata edukasi dengan potenai unggulannya kebun nanas nusantara. Kebun nanas kali ini memiliki 16 varietas nanas dari berbagai daerah di Indonesia.

Dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Singo Barong, wisata edukasi ini menyajikan proses berkebun nanas, menanam, mengolah hingga menikmati hasil nanas nusantara. 

Pengurus Pokdarwis Singo Barong Puji Idirianto menuturkan, terdapat sekitar 16 varietas jenis nanas di kebun nanas nusantara. Mulai dari nanas madu Pemalang, nanas madu Palembang, nanas madu Jambi, nanas Prabumulih, nanas Siak, nanas Pekanbaru, nanas putih, nanas merah dan beragam jenis nanas berbagai daerah lainnya. 

Dengan membuka wisata edukasi kali ini merupakan kegiatan pertama dalam mengenalkan kepada masyarakat luas potensi nanas nusantara dari Desa Pedawang. Pihaknya menjelaskan wisata edukasi kebun nanas nusantara pengunjung dapat melihat proses menanam hingga menikmati nanasnya. 

“Wisata edukasinya mulai melihat kebun nanas, menanam, anak-anak kami ajari membuat serat dari daun nanas, bermain game, dan menikmati buah dan es sari nanas. Anak-anak juga mendapat bingkisan olahan sale nanas,” ungkapnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Sutini, Senin (12/12).   

Pihaknya berharap, potensi unggulan Desa Pedawang kali ini dapat berkembang dan lebih dikenal masyarakat luas atas potensi wisata kebun nanas yang tengah dirintis Pokdarwis Singo Barong Desa Pedawang.

Di tempat wisata kebun nanas ini sering dikunjungi para siswa untuk belajar, seperti terlihat yang dilakukan anak-anak SDIT Al Islamiyah Karangbener Kudus Sabtu (10/12). Terlihat puluhan siswa-siswi begitu antusias ingin memetik buah nanas serta bermain di kawasan kebun nanas nusantara. 

Guru SDIT Al Islamiyah Karangbener Nurul Khasanah mengaku sengaja mengajak anak-anak untuk berwisata edukasi untuk melihat proses dan beraneka ragam nanas nusantara di Kebun Desa Pedawang. Sebab, baru melihat kali ini kebun nanas dengan berbagai daerah ditanam jadi satu.

SEMARANG (Awal.id) – Berwisata edukasi untuk berekreasi sembari belajar tentang kehidupan makhluk hidup masa prasejarah, bisa dilakukan di Museum Situs Purba Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Destinasi wisata yang menyuguhkan temuan benda-benda purbakala itu adalah tempat wisata yang ramai dengan wisatawan pada hari biasa maupun saat liburan. Maka sangat disayangkan jika anda berada di Kota Kudus tidak mengunjungi wisata sejarah yang mempunyai keindahan tersebut.

Sebelum dibangun museum, di sekitar lokasi ada sekitar 1.500 fosil yang pernah ditemukan dan disimpan di rumah-rumah penduduk. Sebagian gading gajah ditempatkan di Museum Ronggowarsito Semarang.

Situs Terlengkap

Situs Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya 2.902,2 hektare meliputi wilayah Kudus dan beberapa kecamatan di Kabupaten Pati. Di gunung ini terdapat makam dan Masjid Sunan Muria, air terjun, motel, penginapan, sejumlah villa, dan warung makan. Jaraknya hanya 18 kilometer dari kota Kudus.

BACA JUGA:   Terbaik 8 Wisata Museum Negeri Nusa Tenggara Barat

Situs purba Patiayam memiliki persamaan dengan situs purba Sangiran, Trinil, Mojokerto, dan Nganjuk. Keunggulan komparatif situs Patiayam adalah fosilnya yang utuh dikarenakan penimbunan abu vulkanik halus dan pembentukan fosil berlangsung baik. Di sekitarannya tidak terdapat sungai besar sehingga fosil ini tidak pindah lokasi karena erosi. Keadaan ini berbeda dengan situs purbakala lainnya dimana fosil ditemukan pada endapan sungai.

Situs Patiayam merupakan salah satu situs terlengkap. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya manusia purba (Homo Erectus), fauna vertebrata dan fauna invertabrata. Ada juga alat-alat batu manusia dari hasil budaya manusia purba yang ditemukan dalam satu aeri pelapisan tanah yang tidak terputus sejak minimal satu juta tahun yang lalu.

Secara morfologi situs Patiayam merupakan sebuah kubah (dome) dengan ketinggian puncak tertingginya (Bukit Patiayam) 350 meter di atas muka laut. Di daerah Patiayam ini terdapat batuan dari zaman Plestosen yang mengandung fosil vertebrata dan manusia purba yang terendap dalam lingkungan sungai dan rawa-rawa.

Wisata Museum Purbakala Patiayam Jekulo Kudus menyediakan beberapa fasilitas dan pelayanan, di antaranya area parkir kendaraan, mushola, amar mandi /MCK, penginapan dan masih banyak lainnya.

 

Sejarah Penemuan Situs

Dilansir dari Kemdikbud.go.id, fosil-fosil di Patiayam pada awalnya ditemukan oleh seorang naturalis asal Jerman bernama Frans Wilhelm Junghuhn dan seorang pelukis sekaligus intelektual Jawa bernama Raden Saleh. Mereka menemukan fosil-fosil di Pegunungan Patiayam dan Pegunungan Kendeng pada tahun 1857.

Namun penemuan benda purba berupa tulang-tulang berukuran besar itu masih belum dapat dipahami masyarakat pada saat itu. Oleh karena itu, mereka menamakan fosil-fosil itu “balung buto”.

Pada masa selanjutnya, penemuan dan penelitian menghadapi berbagai kendala. Selain karena faktor medan yang sulit. Hambatan lain yang dihadapi para peneliti pada waktu itu adalah persaingan dengan penduduk setempat yang menjual fosil-fosil itu kepada pedagang Cina. Waktu itu para tabib Cina menggunakan bubuk yang terbuat dari fosil tulang untuk dijadikan obat.

Oleh karena itu, salah satu pengumpul fosil asal Belanda, Kopral Anthonie de Winter meminta kepada penguasa setempat untuk melarang penduduk mengambil fosil-fosil itu. Walau peraturan sudah keluar, para penduduk tetap mengambil fosil-fosil itu secara sembunyi-sembunyi.

Setelah lama hilang dari peredaran, pada tahun 2005 nama “Patiayam” kembali muncul ke permukaan setelah sebuah koran di Jawa Tengah mengungkapkan tentang adanya temuan fosil gading gajah di tempat itu yang dibawa ke Bandung. Fosil gading gajah itu membuat Situs Patiayam menjadi terkenal dan dijadikan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Banyak Fosil Binatang

Sejak ramainya berita itu, penelitian di Situs Patiayam kembali dilakukan secara intensif. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, ternyata di tempat itu banyak ditemukan fosil-fosil binatang purba di antaranya monyet, banteng, sapi, kerbau, gajah purba, gajah asia, kuda air, badak, babi, serigala, harimau, buaya, penyu, kura-kura, ikan hiu, dan dugong.

BACA JUGA:   Wisata Edukasi Adalah: Memahami Pentingnya Belajar di Luar Kelas

Tak hanya penemuan binatang dan manusia purba, di Situs Patiayam juga ditemukan jejak-jejak kebudayaan masa lampau. Penemuan itu pertama kali dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2007.

 

Beberapa jejak-jejak budaya yang ditemukan antara lain perkakas batu, kapak genggam, serut, dan kapak perimbas yang terbuat dari gamping kersikan. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa di zaman dulu, manusia purba yang tinggal di Patiayam bermata pencaharian sebagai pemburu binatang.

Kemegahan Situs Patiayam dan segala peninggalannya dinilai layak untuk diabadikan dalam sebuah karya seni. Pada Oktober 2019, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus mencoba membuat batik tulis bermotif hewan purba agar Patiayam semakin terkenal.

Ada tiga motif batik yang dikembangkan, yaitu motif 9 purba, gajah pinus, dan gading gajah. Bahan yang digunakan dalam pembuatan batik itu adalah kain dari serat kayu alami dan pewarna alami.

Sejak 22 September 2005 situs Patiayam ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Sebelumnya situs ini sudah lama dikenal sebagai salah satu situs manusia purba (hominid) di Indonesia. Sejumlah fosil binatang purba ditemukan penduduk setempat seperti kerbau, gajah, dan tulang lain. Fosil gading gajah purba Stegodon trigonocephalus merupakan primadona Patiayam. (adv)

Dijuluki dengan “The Taste of Java”, Kudus dikenal sebagai bagian dari wilayah Jawa yang sangat kental akan nuansa religi dan budaya Jawanya. Citra tersebut terbukti bahwa Kudus memiliki potensi yang menjanjikan, mulai dari sektor pariwisata, industri, bahkan pendidikan. Jenang menjadi salah satu industri makanan khas Kudus yang paling legendaris. Jenang juga merupakan jajanan ikon makanan Kudus yang autentik sehingga tak heran jika Jenang Kudus menjadi buah tangan favorit incaran para wisatawan. Mirip dengan dodol, Jenang Kudus terbuat dari tepung beras ketan, santan, gula kelapa, dan lemak nabati.

Dokpri

Banyak industri Jenang Kudus yang berkembang pesat, akan tetapi yang paling terkenal adalah Jenang Mubarok. Pusat Jenang Mubarok beralamat di Jl. Sunan Muria No. 33, Desa Glantengan, Kecamatan Kota, Kudus. Bangunannya terdiri dari dua lantai. Di lantai satu terdapat showroom penjualan aneka produk jenang dan jajanan yang terata rapi di setiap rak. Harga semua produk pun cukup terjangkau, yaitu per kemasan dibandrol hanya puluhan ribu saja. Tak hanya pusat belanja, di lantai dua pengunjung dapat menikmati wisata edukasi Museum Jenang. Didirikan tahun 2017, museum ini hadir dalam rangka menampilkan berbagai budaya lokal. Lalu, apa aja sih isinya?

BACA JUGA:   Favorit 8 Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta

Dokpri

Obyek pertama saat Anda memasuki Museum Jenang, yaitu area sejarah Jenang yang menceritakan dua kisah, yaitu Jenang di Kudus dan Jenang Mubarok.

Dihimpun dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus dan sumber lainnya asal usul jenang di Kudus diyakini bertalian erat dengan cerita rakyat yang terjadi di Desa Kaliputu, Kudus. Tak terlepas dari legenda sebagian perjalanan Sunan Kudus dan Syekh Jangkung (Saridin) serta Mbah Depok Soponyono dan cucunya. Konon ketika Mbah Depok Soponyono bermain burung dara bersama cucunya di tepi sungai, cucunya terjebur dan hanyut di sungai itu. Anak tersebut akhirnya ditolong oleh sejumlah warga. Sunan Kudus dan Syekh Jangkung yang sedang lewat pada saat peristiwa itu terjadi, menghampiri kerumunan warga yang sedang panik tersebut. Sunan Kudus berkesimpulan si anak sudah tiada, namun Syekh Jangkung menyatakan cucu Mbah Depok masih hidup, hanya mati suri. Untuk membangunkannya Syekh Jangkung meminta ibu-ibu membuat Jenang Bubur Gamping untuk menyuapi si anak dan akhirnya sadar. Disebut Jenang Bubur Gamping karena terbuat dari tepung beras, garam, dan santan kelapa.

Dari legenda tersebut, jenang berkembang. Bahan baku jenang beralih, dari sebutan Bubur Gamping menjadi Jenang Kudus. “Dari bahan tiga tadi, ada santan, beras ketan, dan garam, nah garam ini diganti dengan gula merah, akhirnya warnanya (jenang) cokelat kehitaman. Yang awalnya Bubur Gamping menjadi Jenang Kudus.” Beber Muhammad Saidun Arwani atau Mas Idun, Karyawan sekaligus Tour Guide di Museum Jenang.

Beralih pada kisah Jenang Mubarok, jenang ini dirintis oleh H. Mabruri dan Hj. Alawiyah sebagai Generasi I dalam kurun tahun 1910 sampai 1940, kemudian dilanjutkan oleh anaknya, H. A. Shochib dan Hj. Istifaiyah sebagai Generasi II dalam kurun tahun 1940 sampai 1992. Mas Idun menjelaskan, “Dalam dua generasi tersebut, pengolahan dan peralatan jenang masih sangat manual, sederhana, masih menggunakan tenaga manusia. Memasaknya memakai kawah (wajan besar), masih diaduk-aduk dengan kayu yang dulu disebut alat susuk (alu penumbuk).”

Selanjutnya, di Generasi III, mulai tahun 1992 sampai sekarang, oleh H. Muhammad Hilmy, SE dan Hj. Nujumullaily, SE semua peralatan dan pengolahan jenang berkembang, sudah menggunakan mesin. Selain itu, beliau berdua juga sekaligus pendiri Museum Jenang yang akan menginjak usia lima tahun.

Demikian, Jenang Mubarok maju pesat dengan CV. Mubarokfood Cipta Delicia. Berdiri lebih dari 100 tahun tentu Jenang Mubarok memiliki ciri khasnya. Mas Idun pun mengungkapkan bahwa yang membedakan Jenang Mubarok dari jenang produsen lainnya adalah cita rasa, tekstur, dan varian rasanya. Jenang Mubarok melakukan inovasi agar jenang tidak monoton, semua rasa ada. Jenang Mubarok juga berusaha menjalin kemitraan, seperti kerja sama dalam akulturasi bakpia dan jenang.

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya

Lihat Travel Story Selengkapnya

Video Pilihan

Also Read

Bagikan: