Gua maria sendangsono kulon progo

Gundana

Gua Maria Sendangsono adalah tempat ziarah Goa Maria yang terletak di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Gua Maria Sendangsono dikelola oleh Paroki St. Maria Lourdes di Promasan, barat laut Yogyakarta.

Tempat ini ramai dikunjungi peziarah dari seluruh Indonesia pada bulan Mei dan bulan Oktober. Selain berdoa, pada umumnya para peziarah mengambil air dari sumber. Mereka percaya bahwa air tersebut dapat menyembuhkan penyakit.

Catatan terkait memperlihatkan, Sendangsono awalnya merupakan tempat pemberhentian (istirahat sejenak) para pejalan kaki dari Kecamatan Borobudur Magelang ke Kecamatan Boro (Kulon Progo), atau sebaliknya. Tempat itu banyak dikunjungi karena keberadaan sendang (mata air) yang muncul di antara dua pohon sono.

Kesejukan dan kenyamanan tempat itu ternyata juga dimanfaatkan untuk bertapa oleh sejumlah rohaniwan Buddha dalam rangka menyucikan dan menyepikan diri. Nilai spiritualistik muncul dan menguat seiring dengan adanya kepercayaan yang didasarkan pada suatu legenda bahwa tempat itu juga dihuni Dewi Lantamsari dan putra tunggalnya, Den Baguse Samija.

Dari situ bisa dilihat bahwa sebenarnya nilai rohani Sendangsono sudah terbangun sebelum Gereja Katolik berkarya di tempat itu.

Keberadaan Sendangsono tak luput dari peran Romo Van Lith SJ, rohaniawan Belanda yang lama tinggal di Pulau Jawa. Hal itu juga menandakan bahwa Sendangsono tidak bisa dilepaskan dari lingkaran sejarah Gereja Katolik di Pulau Jawa mengingat Romo Van Lith sendiri merupakan salah satu rohaniwan yang menyebarkan ajaran Katolik di Pulau Jawa.

Relief di Sendangsono yang menggambarkan penduduk desa berpakaian adat Jawa sedang dibaptis.

Peziarahan Rm. J.B. Prennthaler, S.J.

Pada 14 Desember 1904 silam Romo Van Lith membaptis 171 warga setempat dengan air bersumber dibawah kedua pohon Sono. Pembaptisan ini adalah buah-buah karya Barnabas Sarikromo sebagai katekumen pertama di wilayah ini, yang sudah lebih dahulu dibaptis oleh Van Lith pada tanggal 20 Mei 1904 di pusat misi Muntilan. 25 tahun kemudian, tepatnya 8 Desember 1929, Sendangsono dinyatakan resmi menjadi tempat peziarahan oleh Romo JB Prennthaler SJ.

Patung Bunda Maria di Sendangsono dipersembahkan oleh Ratu Spanyol yang dengan begitu susahnya diangkat beramai-ramai naik dari bawah Desa Sentolo oleh umat Kalibawang.

Pada 1945 Pemuda Katolik Indonesia berkesempatan berziarah ke Lourdes, dari sana mereka membawa batu tempat penampakan Bunda Maria untuk ditanamkan di bawah kaki patung Bunda Maria Sendangsono sebagai relikui sehingga Sendangsono disebut Gua Maria Lourdes Sendang Sono.

Sendangsono dibangun secara bertahap sejak tahun 1974 hanya dengan mengandalkan sumbangan umat. Budayawan, rohaniawan, dan arsitek YB Mangunwijaya memberikan sentuhan arsitektur vernakular yang khas, dengan konsep bangunan kompleks Sendangsono bernuansa Jawa, dengan semangat ketukangan yang tinggi, serta penggunaan material bahan bangunan memanfaatkan sumber daya setempat yang ramah lingkungan.

Tahun 1991, kompleks bangunan Sendangsono mendapat penghargaan arsitektur terbaik dari Ikatan Arsitek Indonesia, untuk kategori kelompok bangunan khusus.

Pada 17 Oktober 2004, diadakan suatu prosesi dan misa ekaristi kudus pada pukul 10.00 WIB oleh Mgr Ignatius Suharyo Pr untuk memperingati 100 tahun Sendangsono.

Kompleks ziarah

[

sunting

|

sunting sumber

]

Kompleks ziarah Sendangsono berada beberapa kilometer dari jalan raya, masuk ke jalan yang lebih kecil dengan kondisi naik-turun yang cukup terjal dan sedikit rusak di beberapa titik, namun masih dapat dilalui oleh kendaraan roda empat.

Memasuki jalan menuju lokasi, sepanjang kiri kanan jalan terhampar kios-kios penjual cindera mata dan barang-barang rohani. Peziarah dapat membeli lilin, jerigen atau botol berbentuk patung Bunda Maria untuk menyimpan air Sendangsono.

Komplek ziarah Sendangsono luasnya hampir 1 hektar. Dari pintu gerbang masuk, peziarah dapat menemukan rute jalan salib besar. Jalan salib besar ini berawal di gereja yang berada di bawah kompleks ziarah Sendangsono. peziarah yang ingin mengunjungi gereja tersebut dapat mengakses jalan yang terletak beberapa ratus meter sebelum lokasi parkir Sendangsono dengan mengikuti petunjuk jalan yang ada. Dari gereja inilah asal jalan salib lama tersebut. Jarak tempuh jalan salib ini sekitar 1 kilometer.

Di sebelah kanan dibangun rute jalan salib baru yang lebih kecil dalam arti jarak satu perhentian ke perhentian lain sangat pendek hanya beberapa langkah saja. Diorama-diorama kisah sengsara Yesus Kristus berbentuk kecil saja dan dinaungi semacam atap.

Di akhir jalan salib, peziarah akan memasuki pelataran yang di area tengahnya, pada bagian bawah, terdapat keran-keran air untuk mengambil air dari mata air Sendangsono, yang dialirkan dari sebelah atasnya, yaitu titik sumber mata air berbentuk seperti sumur yang ditutup.

Pranala luar

[

sunting

|

sunting sumber

]

SENDANG SONO
Lourdes-nya Indonesia

Desa Banjaroya, Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia

Lihat peta

Sendang Sono adalah tempat yang sarat cerita, keindahan dan ketenangan. Anda bisa mengunjungi makam Sarikromo, menikmati arsitekturnya yang meraih Aga Khan Awards dan berkirim surat pada Tuhan di depan Gua Maria.

Bagikan di

sendang sono

(YogYes.com / Daniel Antonius Kristanto)

Tiket Masuk Sendang Sono 2018
Gratis

Jam Buka Sendang Sono
Senin – Minggu: buka 24 jam

Sendang Sono bisa dijangkau setelah melewati jalan berliku di kaki bukit Menoreh. Anda bisa memilih dua jalur jika ingin menjangkaunya dari pusat kota Yogyakarta, melewati Jalan Godean hingga Sentolo kemudian belok ke kanan, atau melewati Jalan Magelang hingga pertigaan Pasar Muntilan kemudian belok ke kiri. Jaraknya sekitar 45 kilometer, atau satu jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Sebuah pintu dengan dinding samping terbuat dari batu akan mengantar anda masuk ke kompleks ziarah yang luas, terbagi atas kapel-kapel kecil, lokasi Jalan Salib, Gua Maria, pendopo, sungai dan tempat penjualan perlengkapan ibadah. Udara sejuk akan menyapa anda begitu memasuki kompleks ziarah, tak heran sebab kompleks ini ditumbuhi banyak pepohonan.

BACA JUGA:   4 Foto Tugu Identitas Kudus

Sendang Sono dinamai berdasarkan letaknya. Sendang berarti mata air, sementara Sono berarti pohon sono, sehingga nama itu menunjukkan bahwa sendang ini terletak di bawah pohon sono. Sendang beserta pohon sono dapat dijumpai dengan berbelok ke kanan dari pintu masuk, sayangnya anda tak bisa melihat sendang dengan leluasa karena bilik sendang kini ditutup dengan kotak kaca.

Sebelum tahun 1904, sendang ini lebih dikenal dengan nama Sendang Semagung, berfungsi sebagai persinggahan para bhikku yang ingin menuju daerah Boro, wilayah sebelah selatan Sendang Sono. Namun, sejak 20 Mei 1904 atau kedatangan Pastur Van Lith dan pembaptisan 173 warga Kalibawang menggunakan air sendang, tempat ini mulai berubah fungsi sebagai tempat ziarah umat Katholik.

Memasuki kapel utama di kompleks ziarah ini, anda bisa mengenang peristiwa pembaptisan yang terjadi 102 tahun lampau itu, sebab di kapel itu terdapat sebuah relief yang menggambarkan prosesi pembaptisan. Sementara memasuki Kapel bunda Maria dan Kapel Para Rasul, anda akan mengingat perjuangan Bunda Maria dan 12 rasul pertama Kristus.

Jika ingin mengenang perjuangan salah satu warga penggerak komunitas Katholik Sendang Sono, anda bisa menuju ke pemakaman di dekat Kapel bunda Maria. Di sana, anda akan menemukan makam Barnabas Sarikromo, sahabat baik Pastur Van Lith yang juga menjadi salah satu warga yang dibaptis pada tahun 1904 dan ditetapkan sebagai katekis pertama di daerah tersebut.

Sarikromo yang dilahirkan pada tahun 1874 bisa dikatakan seorang yang menerima rahmat karena senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan. Ketika muda, ia menderita sakit kaki yang sulit disembuhkan. Dalam doa dan janjinya untuk mengabdikan diri pada Tuhan jika kakinya disembuhkan, ia bertemu dengan Pastur Van Lith yang kemudian membantu pengobatannya ke seorang bruder hingga sembuh.

Jalan salib pendek bisa menjadi pilihan ibadah untuk mengenang kesengsaraan Kristus memanggul kayu Salib. Di setiap pemberhentian jalan salib itu, anda bisa menyalakan lilin sekaligus berdoa dan mengingat peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan Kristus menuju Bukit Golgota, seperti saat kristus jatuh dua kali saat memanggul kayu salib, saat Veronica mengusap wajah Kristus dengan sapu tangannya hingga saat akhir menjelang kematian Kristus.

Berdoa di depan Gua Maria yang terletak di belakang pohon sono juga bisa menjadi pilihan untuk mencari ketenangan batin. Banyak orang memanjatkan doa dengan bersimpuh dan menyalakan lilin di depan gua ini. Anda bahkan bisa menuliskan permohonan atau curahan hati anda dalam secarik kertas, lalu memasukkannya dalam pot tempat pembakaran surat agar Tuhan menerimanya. Asal tahu, patung Bunda Maria yang ada di kompleks ini didatangkan khusus dari Spanyol.

Selain menenangkan diri dan berdoa, anda juga bisa menikmati keindahan arsitektur kompleks yang dirancang oleh Y.B Mangunwijaya Pr dan meraih Aga Khan Awards ini. Anda bisa duduk santai di pendopo sanbil menikmati bangunan sekeliling yang didominasi bahan batu, atau berdiri di jembatan kecil sambil menikmati indahnya sungai yang mengalir di bawahnya.

Saat hendak pulang, jangan lupa mengambil air sendang dengan cara menuju keran-keran air yang terdapat di sisi kanan sungai. Membawa pulang air sendang dan meminumnya, dipercaya dapat mendatangkan berkah. Dengan membawa air sendang itu, tentu perenungan dan permohonan yang disampaikan selama ibadah akan lebih komplit.

Baca juga:

  • 85 Guest House Murah di Jogja, Mulai 250 Ribu/Rumah
  • 10 Penginapan Murah di Jogja di Bawah 100 Ribu/Kamar
  • 10 Homestay & Kost Harian di Jogja yang Lebih Murah dari Hotel

semua harga

Galeri Foto Sendang Sono

  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono
  • sendang sono

Gua Maria Sendangsono yang terletak di Banjaroyo, Kalibawang Kulon Progo, Yogyakarta dikenal sebagai tempat ziarah bagi umat Katolik. Sebelum jadi tempat ziarah, warga mengenalnya sebagai tempat keramat.

*** 

Saya bangun kesiangan pagi ini. Padahal semalam sudah meniatkan hati untuk bangun pagi untuk  bertandang ke barat laut Yogyakarta. Perjalanan ini akan panjang, sekitar 29 kilometer dari pusat Kota Yogya. Di bawah langit abu-abu, Sabtu (09/04/2022), sepeda motor Honda Beat saya melewati sawah dan jalan berliku menuju ke Gua Maria Sendangsono.

Alasan klasik bertandang ke tempat ziarah adalah menyongsong Paskah yang dirayakan tanggal 17 April 2022. Paskah, peringatan kebangkitan Yesus Kristus, merupakan hari raya paling agung umat Kristiani yang dirayakan dengan suka cita dan berkumpul bersama keluarga serta sanak saudara. Karena itu, banyak yang memanfaatkan momentum menjelang Paskah untuk pulang ke kampung halaman.

Gua Maria Sendangsono, letaknya di Semangung, Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Kompleks peziarahan yang dikelola oleh Paroki Santa Maria Lourdes Promasan ini tidak jauh dari Jalan Raya Nanggulan-Mendut, sekitar 5,3 kilometer atau 15 menit perjalanan. Meskipun demikian, jalan kecil yang dilewati memiliki kontur naik-turun terjal lantaran berada di Pegunungan Menoreh. Begitu pun dengan beberapa titik jalan terlihat rusak namun masih bisa dilewati kendaraan roda empat.

Saya sampai di parkiran Gua Maria Sendangsono yang disebut sebagai Lourdes-nya Indonesia. Lourdes sendiri merupakan tempat penampakan Bunda Maria di Perancis yang kemudian jadi tempat ziarah umat Katolik dari berbagai penjuru dunia.

Di tempat parkir, terlihat deretan kendaraan dengan beragam plat nomor. “Jika menjelang Paskah pengunjung bisa dua sampai tiga kali lipat, apalagi weekend seperti ini,” ungkap penjaga parkir yang enggan disebutkan namanya.

Kira-kira, luas kompleks peziarahan ini mencapai 1 hektar. Untuk sampai ke Gua Maria Sendangsono, peziarah masih harus melewati jalan menanjak, sekitar 100 meter, dengan berjalan kaki. Di kiri-kanan, tampak kios-kios penjual cendera mata dan barang rohani, seperti rosario atau salib misalnya. Terlihat pula para pedagang sibuk melayani peziarah yang mampir untuk membeli lilin doa.

BACA JUGA:   Favorit 4 Rekomendasi Tasik Putri Pepuyu

Kios-kios di kawasan tempat ziarah Gua Maria Sendangsono.

Sendang Semangung dan Dewi Lantamsari

Konon katanya, sebelum menjadi tempat doa umat Katolik, masyarakat sekitar akrab dengan sebutan Sendang Semangung. Dahulu, Kalibawang merupakan daerah kekurangan air. Masyarakat sulit menggali sumur. Karena itu mereka menggunakan mata air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sendang Semangung dianggap keramat. Diyakini oleh masyarakat jika dihuni oleh roh-roh gaib. Salah satunya, Dawus Tadikrama, guru ilmu gaib yang kerap datang ke sendang bersama murid-muridnya. Ketika ada yang butuh ilmu, ia akan mendudukkan murid itu di atas selembar mori putih dan menghadap sesajen seperti bunga, kemenyan, dan makanan.

Saat itu, sedikitnya setahun sekali diadakan nazaran oleh masyarakat sekitar. Gunanya untuk menghormati dan memuja roh di Sendang Semangung. Andai tidak dilakukan, maka masyarakat sekitar mendapat gangguan gaib. Sayang, tradisi itu malah diselewengkan menjadi ajang judi dan pemuasan nafsu seksual.

Dipercayai pula sosok penunggu Sendang Semangung bernama Dewi Lantamsari dan putra semata wayangnya, Den Baguse Samijo. Ketika malam tiba, masyarakat sekitar akan datang dan bersemedi di dekat sendang. Mereka mendaraskan permohonan pada dua penguasa gaib itu.

Bukan itu saja, jauh sebelum dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, Sendang Semangung adalah peristirahatan biksu (pendeta Budha). “Saat itu belum ada Jembatan Klangon. Sendang ini letaknya di tengah Borobudur dan Bara Kidul (sekarang dikenal dengan Boro) yang merupakan biara biksu,” ungkap Yohanes Setyanto (52), pengelola Gua Maria Sendangsono, saat ditemui di sekretariat.

Ketika berjalan kaki, para biksu melewati Pegunungan Menoreh. Perjalanan lama dan menantang matahari, membuat mereka menjadikan Sendang Semangung tempat peristirahatan untuk minum air.

Barnabas Sarikrama yang sakit misterius dan Romo Van Lith

Penggemar ilmu gaib lainnya adalah Sariman Soerawirja. Ia pergi dan bertandang dari satu guru ke guru lainnya untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan supranatural. “Suatu hari, ketika anak pertamanya lahir, laki-laki itu sakit misterius,” cerita Yanto, biasa dipanggil. Tungkai kakinya terdapat lubang yang mengeluarkan bau tidak sedap. Akibatnya, Sariman harus ngesot untuk berpindah tempat.

Penyakitnya membuat Sariman tidur di emperan rumah. Sebagai penganut kejawen, ia berupaya semedi agar segera sembuh, salah satunya di Sendang Semangung. Dalam keheningan, ia mendapatkan wangsit menyanga ngalor-ngetan lan kowe bakal oleh loro-loroning atunggal. “Akhirnya, pada tengah malam, Sariman mengikuti perintah itu dengan berjalan ngesot ke arah Muntilan dan bertemu Romo Van Lith, SJ,” ungkap Yanto.

Desain arsitektur karya Romo Mangun di Sendangsono.

Ketika melihat Sariman, tergeraklah hati Romo Van Lith. Ia merawat dengan telaten. Dibersihkan lukanya, dioleskan salep, dan dibalut perban bersih. Ia juga memberi salep dengan perban baru dan meminta laki-laki datang seminggu sekali.

Bersinggungan dengan Katolik, membuat Sariman ingin belajar lebih dalam. Oleh Romo Van Lith ia diajari Doa Bapa Kami (Rama Kawula). Dengan telaten juga, Romo Van Lith, mengajarkan agama Katolik pada Sariman yang tidak bisa baca-tulis. Saat sakitnya sembuh, ia mendapatkan sebuah kitab suci.

“Kesembuhan Sariman membawanya mengenalkan agama Katolik pada mertuanya yang seorang Pamong Desa Kajoran,” cerita Yanto. Ia merasa disembuhkan oleh Doa Bapa Kami yang sering didaraskan. Ungkapan terima kasihnya pun diwujudkan dengan menyebarkan agama Katolik pada masyarakat sekitar sesuai yang diajarkan Romo Van Lith.

Pada hari raya Pentakosta, 20 Mei 1904, Sariman dibaptis oleh Romo Van Lith dengan nama pemandian Barnabas. Ia juga diberi nama Sarikrama yang berarti rakyat jelata yang mampu menerima ajaran Kristiani. Kemudian ia dikenal dengan nama Barnabas Sarikrama.

“Kaki saya dapat digunakan lagi berkat kemurahan Tuhan, maka selanjutnya akan saya pergunakan untuk karya Tuhan,” ungkap Yanto menirukan perkataan Sariman pada waktu itu. Tanpa dibayar ia datang ke seluruh penjuru Kalibawang dengan berjalan kaki. Kegigihannya membawa 171 orang untuk dibaptis pada 14 Desember 1904. Sejak itu, empat desa di Kalibawang yaitu Kajoran, Semangung, Tuksongo, dan Promasan menjadi basis umat Katolik.

Tempat wingit yang jadi tempat doa

Setelah mengobrol dengan pengurus Gua Maria Sendangsono, saya pun diajak berkeliling dan ditemani oleh Romo Kristoforus Rhesa Allem Pramudita Pr (31), romo Paroki Promasan. Romo Rhesa, biasa dipanggil, menceritakan 19 tahun kemudian, ketika Romo JB Prennthler SJ datang dari Pegunungan Tirol, Austria. Romo berkebangsaan Jerman itu berkarya di Kalibawang dan menggagas membagi 2 wilayah, yaitu Boro sebagai pusat ekonomi dan Promasan, yang saat itu berbentuk stasi, sebagai pusat rohani.

Suatu hari, Sariman bercerita tentang pembaptisan umat Katolik di Sendang Semangung. Mata air itu berada di bawa Pohon Angsana, dikelilingi semak belukar. Romo Prennthler SJ berpikir untuk menjadikan sebagai tempat berdoa. Ia ingin menghilangkan stigma dari tempat wingit menjadi ruang untuk berdevosi atau berdoa maka jadilah Gua Maria Sendangsono.

Rencana Romo Prennthler disambut baik oleh masyarakat sekitar. Ia menelepon temannya sesama Romo Jesuit yang bertugas di Spanyol untuk mengirimkan patung Bunda Maria Ratu Surga. Karena tidak ada, akhirnya patung itu didatangkan dari Austria.

“Masyarakat gotong royong membangun gua. Mereka mengumpulkan batu dan pasir bersama-sama. Pasir diambil dari Sungai Progo. Batu diambil dari Gorolangu, Samigaluh,” ujar Romo Rhesa. Dibentuklah menjadi gua untuk meletakkan patung Bunda Maria.

gua maria sendangsono

Gua mengandung filosofi. Gua berbentuk oval mengibaratkan lubang vagina, sumber kehidupan. Lubang itu jadi tanda lahirnya manusia melalui pembaptisan.

Patung itu datang. Setelah sebelumnya sampai ke Batavia, kemudian diturunkan di Sentolo, Wates. Barulah dengan gerobak sapi dibawa sampai Kalibawang (Slanden). Sebanyak 30 orang turun dan menjemput Patung Bunda Maria dalam peti seberat 300 kilogram. Mereka mengangkatnya melalui perjalanan panjang dan berbatu untuk sampai ke Gua Maria Sendangsono dan ditakhtakan di sana.

BACA JUGA:   Tempat main anak anak di mall jakarta

Pada 8 Desember 1929, dilakukan pemberkatan Gua Maria Sendangsono, bertepatan 75 tahun dogma Maria dikandung tanpa noda. “Gua Maria Sendangsono menjadi wujud syukur perlindungan Bunda Maria atas karya misi dan monumen 25 tahun misi Katolik di Kalibawang sebagai gereja dengan umat Jawa,” ungkap Romo Rhesa. Pada pemberkatan ini juga, dihadiahkan penghargaan pada Barnabas Sarikrama berupa bintang Pro Ecclesia et Pontifice oleh Paus Pius IX.

Romo Prennthler juga memberikan 19 lonceng Belanda yang berkumandang tiga kali, yaitu jam 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore, sebagai ajakan umat Katolik berdoa Malaekating Allah (Angelus). Pada lonceng tertulis Sembah Bektinipun Tanah Jawa Ugi. Ketika berkumandang, seluruh orang menghentikan aktivitasnya dan mulai berdoa.

Sentuhan Romo Mangun di Sendangsono 

Tahun 1969, dilakukan revitalisasi Gua Maria Sendangsono. “Berada dalam lingkup Keuskupan Agung Semarang, Mgr Soegijapranata meminta Romo YB. Mangunwijaya Pr, yang piawai dalam seni arsitektur, untuk menata dengan konsep Rumah Jawa,” ujar Romo Rhesa.

Menurut tradisi Jawa, rumah dibagi menjadi pelataran, rumah depan, tengah, dan belakang. Gua Maria Sendangsono pun dibagi dalam tiga bagian yaitu pelataran (jalan masuk yang ditandai dengan jalur jalan salib), ruang depan (tempat mengambil air suci), dan ruang tengah (tempat bertemu Bunda Maria dan Tritunggal Maha Kudus).

Romo Mangun  kemudian membuat tanah berteras miring sebagai pelataran dengan bentuk trap trapesium. Hal itu dilakukan agar orang dapat berdialog secara setara. Dibantu masyarakat, ia membeli tanah-tanah yang ada di sekitar Gua Maria Sendangsono. Di pelataran, dibangun rumah panggung sebagai ruang diskusi yang model bangunannya mengikuti rumah di sekitarnya.

Pun dengan jalan salib yang jadi penanda masuk ke Kompleks Gua Maria Sendangsono. Ada dua versi, yaitu jalan salib panjang dan jalan salib pendek. Sejatinya, jalan salib menggambarkan perjalanan dan perjuangan manusia. Sedangkan ornamen mawar di tembok jalan salib pendek menandakan akhirnya yang bahagia.

Romo Mangun seorang konseptor. Ia memiliki pengikut sebagai eksekutornya yang diambil dari masyarakat sekitar. Jumlahnya mencapai 4000 orang. Pembangunan 26 tahun itu baru berakhir pada 1995. Seluruh reliefnya dibuat sendiri, pun dengan batu-batu yang disusun membentuk aneka pola. “Semua itu dilakukan agar umat Katolik tetap hidup,” ungkapnya. Bangunan ini mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitektur Indonesia sebagai karya seni dengan perjalanan panjang.

Berbagai macam permohonan peziarah

Setelah berkeliling, saya menepi di dekat sendang yang kini tertutup kaca. Katanya, tidak ada persiapan untuk paskah tahun 2022 ini.

“Dulu, setiap Jumat Agung ada perarakan dari Padusan (perhentian pertama jalan salib panjang) sampai ke Gua Maria Sendangsono, sekitar 1 kilometer,” ungkap Romo Rhesa, Pr. Perarakan itu membawa patung Maria Dolorosa (Maria yang berduka cita) mulai pukul 1 siang dan berakhir pukul 3 sore dilanjutkan misa.

Ada pula sholawatan Katolik yang dilakukan pada minggu kedua pukul 7 malam. Pun juga novena arwah Bulan November untuk mendoakan arwah umat Katolik di sekitar Gua Maria Sendangsono dan ujub khusus dari para peziarah setiap pukul 3 sore. Namun, sejak Pandemi Covid-19 kegiatan dihentikan sementara.

Sekarang, hanya ada 2 kegiatan, yaitu novena kepada Bunda Maria sebulan sekali dan misa setiap Hari Minggu pukul 11 siang. Dalam misa, dibacakan pula permohonan para peziarah yang diletakkan di kotak depan Gua Maria Sendangsono. “Kebanyakan permohonan peziarah untuk kelancaran usaha, permintaan keturunan, dan jodoh,” ungkapnya.

Memang sengaja, sedikit kegiatan keagamaan Katolik di Gua Maria Sendangsono. Hal itu lantaran memberi kebebasan peziarah untuk devosi dan bertemu Tuhan secara Pribadi. “Bunda Maria merengkuh segala ciptaan, baik terlihat maupun tidak, seagama ataupun tidak, terbuka bagi semua orang untuk menemukan Tuhannya masing-masing,” tambahnya.

Romo Rhesa ingat ketika bertemu suami-istri yang meminta berkat bagi anak bayinya. Ternyata sudah sepuluh tahun mereka memohon di Gua Maria Sendangsono ini. Dan anak yang dibawa itu adalah hasil penantiannya. Pun dengan seorang laki-laki asal Sumatera yang memilih menepi selama 1,5 tahun. Hanya sumeleh yang didapatkan setelah tidur dan berdoa di tempat ini, sebelum pulang.

Keterbukaan Gua Maria Sendangsono juga dirasakan oleh penggarap film. Ada dua film yang mengambil lokasi di tempat ini yaitu bertajuk 3 Hari Untuk Selamanya yang dibintangi Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti dan Lukas: The Journey of an Altar Boy yang dibintangi oleh Dimas Andrean. “Bahkan pre-wedding, sampai kunjungan lintas agama  boleh dilakukan,” ungkapnya.

Ada kejadian yang membuat miris yang pernah terjadi di tempat ini. Ada orang-orang yang mencoba menarik pusaka dari Pohon Angsana. Namun, banyak yang akhirnya pulang dengan tangan kosong karena kalah dengan energi positif tempat ini.

Gua Maria Sendangsono tak pernah sepi peziarah, bahkan mencapai rekor 1.5000 orang dalam sehari pasca-pandemi Covid-19. Bertambah ramai pada Bulan Mei dan Oktober sebagai peringatan Bulan Maria dan saat libur Lebaran. “Nanti, saat libur Lebaran pertama sampai ketujuh banyak yang datang untuk ziarah dan rekreasi,” ujar Romo Rhesa. Hujan turun rintik-rintik, saya segera berpamitan. Tak lupa mengambil botol plastik berisi air sendang dan membayar biaya sukarela. Pukul 5 sore, perjalanan ziarah di Gua Maria Sendangsono ini selesai.  

Reporter: Briggita Adelia

Editor: Agung Purwandono

 

Terakhir diperbarui pada 17 April 2022 oleh Agung Purwandono

Also Read

Bagikan: